Mediapasti.com – Gabungan Pengusaha Pabrik Kelapa Sawit Mikro, Kecil, dan Menengah Indonesia (Gapkes-Mikemindo) mengungkapkan bahwa sekitar 75 persen pabrik kelapa sawit mini atau brondolan di seluruh Indonesia terpaksa berhenti beroperasi setelah diberlakukannya pembatasan ekspor.
Kebijakan ini berdampak langsung pada sektor kelapa sawit domestik, terutama di kalangan pengusaha pabrik skala kecil dan menengah.
Penyebab Penutupan: Kebijakan Pemerintah Tentang Pembatasan Ekspor Limbah Sawit
Pada 8 Januari 2025, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2025 yang memperketat aturan ekspor produk turunan kelapa sawit.
Pembatasan ekspor ini meliputi limbah pabrik kelapa sawit (Palm Oil Mill Effluent/POME), residu minyak sawit asam tinggi (High Acid Palm Oil Residue/HAPOR), dan minyak jelantah (Used Cooking Oil/UCO).
Akibatnya, banyak pabrik kelapa sawit mini yang tidak dapat melanjutkan operasional mereka.
Salim Simangunsong, Ketua Gapkes-Mikemindo, mengungkapkan bahwa dari 527 pabrik kelapa sawit mini yang tergabung dalam organisasi mereka, 75 persen di antaranya telah berhenti beroperasi pasca-pemberlakuan peraturan tersebut.
“Efek dari Peraturan Menteri Perdagangan 26/2024 ini sangat besar. 75 persen PKS mini sudah berhenti beroperasi. Jika hal ini terus berlanjut, mereka akan menggelar demo,” jelas Salim saat dihubungi pada Rabu (12/2/2025).
Tantangan Pengusaha PKS Mini dan Peningkatan Harga Brondolan
Selain penutupan pabrik, Salim juga mengungkapkan adanya masalah besar terkait harga brondolan sawit.
Ketika pabrik besar beralih menjadi pengolah brondolan, harga brondolan sawit meningkat tajam, mencapai Rp3.800 per kilogram (kg), yang lebih tinggi dibandingkan harga tandan buah sawit (TBS) yang rata-rata sekitar Rp3.000 per kg.
Kenaikan harga ini membuat PKS mini kesulitan untuk bersaing dan mengakibatkan banyak yang tutup.
“Jika kita asumsikan sebuah PKS besar dengan kapasitas 60 ton per jam, mereka membutuhkan sekitar 600 ton brondolan per hari. Hal ini bisa menghidupkan sekitar 60 PKS mini, namun jika terus berlanjut, ini akan mematikan banyak PKS mini,” ungkap Salim.
Pemerintah Diminta Menata Pengelolaan Kelapa Sawit Agar Tidak Terjadi Konflik
Salim juga mendorong agar pemerintah segera melakukan penataan terhadap pengelolaan pabrik kelapa sawit, baik itu PKS mini maupun PKS besar, untuk menghindari gesekan yang semakin besar di lapangan.
Ia mengusulkan agar pemerintah membedakan pengolahan TBS dan brondolan, dengan menetapkan kapasitas produksi yang berbeda antara PKS mini dan besar.
“PKS mini harus memiliki kapasitas maksimal 15 ton per jam, sementara PKS besar harus memiliki kapasitas minimal 30 ton per jam,” tambahnya.
Pemerintah Diminta Investigasi Praktik Pencampuran CPO dan Limbah Sawit
Terkait dengan pelarangan ekspor limbah sawit, Salim menanggapi pernyataan dari Kementerian Perdagangan yang menyebut adanya dugaan praktik pencampuran CPO dengan POME dan HAPOR.
Data menunjukkan bahwa ekspor POME dan HAPOR pada 2024 mencapai 3,45 juta ton, jauh lebih tinggi dibandingkan ekspor CPO yang hanya 1,35 juta ton.
“Pemerintah perlu melakukan investigasi lebih lanjut. PKS mini tidak memiliki kapasitas untuk memproduksi CPO, jadi siapa yang harus bertanggung jawab atas masalah ini?” tegas Salim.
Pentingnya Pengaturan Harga Brondolan yang Adil
Selain itu, Salim juga meminta agar pemerintah mengatur harga brondolan sawit agar tidak dikuasai oleh PKS besar yang dapat mempengaruhi kestabilan pasar.
Pengaturan harga yang adil akan membantu mencegah kerugian yang lebih besar bagi pengusaha PKS mini dan menjaga keberlanjutan industri kelapa sawit di Indonesia.


















