Mediapasti.com – Ratusan pengemudi ojek online (ojol) dari berbagai wilayah Jabodetabek mendatangi Gedung DPR RI pada Rabu, 21 Mei 2025.
Mereka tergabung dalam sejumlah asosiasi seperti Asosiasi Driver Online (ADO), Gabungan Aksi Roda Dua (Garda), dan Koalisi Ojol Nasional.
Aksi ini merupakan kelanjutan dari demonstrasi besar sehari sebelumnya di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat.
Para pengemudi menuntut revisi regulasi, penghapusan biaya tambahan, dan pembentukan Undang-Undang Transportasi Online yang berpihak pada kesejahteraan mereka.
Latar Belakang Aksi: Kesenjangan Pendapatan dan Beban Biaya
Para pengemudi ojol menyuarakan keresahan atas potongan biaya jasa yang dianggap memberatkan.
Mereka mengaku semakin sulit memenuhi kebutuhan hidup karena pendapatan bersih terus menyusut, terutama setelah munculnya berbagai biaya tambahan dari aplikator seperti “biaya jasa platform” dan “biaya layanan.”
“Kami ini bukan pekerja tetap, tapi semua biaya dibebankan ke kami. Aplikator cuma modal aplikasi, tapi potong penghasilan sampai 50 persen. Kami rugi di bahan bakar, servis, bahkan cicilan kendaraan,” ujar Ade Armansyah dari Kelompok Korban Aplikator.
Ia mengungkap bahwa dalam satu hari, pengemudi bisa menempuh jarak hingga 200 km namun hanya membawa pulang sekitar Rp100.000–Rp150.000 setelah dipotong semua biaya operasional.
Tuntutan Utama: Potongan Aplikasi Maksimal 10 Persen
Para driver mendesak agar pemerintah menetapkan batas potongan maksimal 10 persen dari total tarif perjalanan.
Saat ini, Kepmenhub Nomor KP 1001 Tahun 2022 masih mengizinkan potongan hingga 20 persen, namun para driver mengklaim potongan aktual yang mereka alami bisa mencapai 40–50 persen karena ada biaya tersembunyi.
“Potongan 50 persen itu nyata. Ada biaya jasa, ada platform fee, belum lagi promo-promo yang bukan inisiatif kami tapi dipotong dari hasil kami. Ini eksploitasi digital,” kata Raden Igun Wicaksono, Ketua ADO.
Para driver juga mengkritik tidak adanya transparansi soal struktur tarif, algoritma pemilihan order, dan sistem rating yang sering membuat mereka dirugikan.
Aspirasi Lain: Pembentukan Undang-Undang Transportasi Online
Selain soal tarif dan potongan, para pengemudi juga meminta DPR segera membentuk Undang-Undang khusus yang mengatur transportasi online secara menyeluruh.
Selama ini, ojol belum memiliki dasar hukum yang kuat karena tidak diakomodasi dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
“Status kami digantung, bukan pekerja tapi tetap dibebani tanggung jawab. Harus ada UU yang melindungi mitra pengemudi dan menetapkan standar kerja yang adil,” kata Nurhadi dari Garda.
Respons DPR: Siap Panggil Menhub dan Rancang RUU Baru
Komisi V DPR RI yang membidangi transportasi menanggapi aspirasi ini dengan serius.
Ketua Komisi V, Lasarus, berjanji akan memanggil Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi pada Senin, 26 Mei 2025, untuk meminta klarifikasi atas kebijakan pemotongan tarif dan mekanisme penetapan biaya tambahan oleh aplikator.
“Kami akan dalami skema biaya yang dibebankan kepada pengemudi dan konsumen. Tidak boleh ada potongan atau pungutan yang tidak punya dasar hukum,” kata Lasarus.
Anggota Komisi V dari Fraksi PDIP, Adian Napitupulu, juga menyatakan bahwa DPR tengah menyusun draft RUU Transportasi Online yang terpisah dari revisi UU LLAJ karena karakteristik transportasi daring yang unik dan membutuhkan pengaturan lintas sektor, termasuk ketenagakerjaan dan ekonomi digital.
Klarifikasi Aplikator: Biaya Layanan dari Konsumen, Bukan Driver
Empat aplikator besar—Gojek, Grab, Maxim, dan inDrive—mengeluarkan pernyataan resmi terkait tuduhan pemotongan berlebihan.
- Gojek menyatakan bahwa potongan 20 persen hanya berlaku untuk biaya perjalanan, sementara biaya layanan sebesar Rp2.000–Rp5.000 dibebankan kepada konsumen.
- Grab menjelaskan bahwa platform fee digunakan untuk pengembangan teknologi dan perlindungan asuransi, serta tidak memotong pendapatan pengemudi.
- Maxim mengklaim hanya mengenakan potongan 10–15 persen dan memprioritaskan efisiensi operasional.
- inDrive menyebutkan mereka menerapkan sistem negosiasi tarif dan hanya memotong komisi sebesar 9,9% untuk motor dan 11,7% untuk mobil.
Meski begitu, perwakilan driver tetap menuntut audit dan keterbukaan algoritma serta perhitungan biaya yang dikenakan kepada mereka.
Potensi Dampak RUU Transportasi Online
Jika RUU Transportasi Online berhasil disahkan, regulasi ini akan mencakup:
- Penetapan tarif dasar dan batas atas yang adil.
- Standarisasi status hubungan kerja antara mitra dan aplikator.
- Kewajiban transparansi algoritma dan sistem perhitungan biaya.
- Regulasi hak sosial seperti asuransi, jaminan hari tua, dan pelatihan keselamatan.
RUU ini juga diharapkan menjadi payung hukum yang mengikat semua jenis transportasi daring, termasuk angkutan mobil online dan kurir.