KPK Tetapkan Lima Tersangka Kasus Pengadaan EDC Rp 2,1 T

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp
Email
X
Threads
Pinterest
Telegram

KPK menetapkan lima orang sebagai tersangka dalam perkara pengadaan mesin Electronic Data Capture (EDC) dari 2020 sampai 2024 dengan nilai proyek Rp 2,1 triliun. Lima orang pihak ditetapkan sebagai tersangka setelah KPK mendapati bukti yang cukup adanya tindakan melawan hukum.

“Kita sudah menetapkan lima orang ini dari fakta-fakta yang diperoleh sebagaimana tersebut di atas, telah ditemukan bukti permulaan yang cukup terkait dengan adanya dugaan tindak-tindak korupsi dalam pengadaan Electronic Data Capture (EDC) android,” kata Plt Deputi Penindakan KPK, Asep Guntur Rahayu dalam konferensi pers di gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (9/7/2025).

Asep menjelaskan, pihak-pihak yang ditetapkan sebagai tersangka di antaranya:
– CBH, Wakil Direktur Utama BRI
– IU, Direktur Digital Teknologi Informasi dan Operasi BRI
– DS, SEVP Management Aktiva dan Pengadaan BRI
– EEL, PT PCS
– RSK, PT BIT

Asep menerangkan dalam perkara ini, pengadaan EDC dilakukan dalam dua skema, yakni dengan membeli serta menyewa. Dalam skema pembelian dilakukan pada periode 2020-2024 dengan pengadaan mesin EDC sebanyak 346.838 unit yang makan anggaran senilai Rp 942.794.220.000.

Sementara untuk skema sewa awalnya dilakukan selama 3 tahun dari 2020 hingga 2023 dengan anggaran sebesar Rp 581.790.000.000. Skema sewa ini kemudian diperpanjang hingga 2024 dengan nilai anggaran Rp 634.206.669.744 untuk kebutuhan merchant sebanyak 200.067 unit.

Asep lalu menjelaskan konstruksi perkara dari kasus perkara pengadaan mesin Electronic Data Capture (EDC) dari 2020 sampai 2024 dengan nilai proyek Rp 2,1 triliun ini. Dia mengatakan diawali pada tahun 2019 sebelum pengadaan EDC dilaksanakan, EEL melakukan beberapa kali pertemuan dengan IU dan CBH.

“Jadi mereka sudah bertemu dengan calon penyedia barang. Ini yang tidak boleh, ketemu dengan calon penyedia barang, saudara EL, kemudian sudah ditunjuk, disepakati, bahwa saudara EL inilah yang nanti akan melaksanakan atau menjadi penyedianya,” terang Asep.

Baca Juga :   Presiden Jokowi Ajak Seluruh Komponen Bangsa Jadi Bagian Gerakan Budaya Antikorupsi

Asep menjelaskan seharusnya proses pengadaan barang dilakukan dengan cara lelang. Kemudian, dia mengatakan IU memberikan pengarahan kepada jajarannya agar mesin EDC yang dibawa EEL bisa dilakukan uji kelayakan.

Uji kelayakan teknis atau pengujian kompabilitas ini dilakukan untuk mesin EDC terhadap sistem software yang digunakan. Uji kelayakan ini pun akhirnya dilakukan terhadap mesin EDC yang dibawa oleh EEL sehingga seolah-olah menang sebagai vendor pengadaan EDC.

“Untuk pengujian ini pun juga tidak dilakukan secara luas, tidak diinformasikan secara luas. Sehingga vendor-vendor lain, merek-merek lain itu tidak bisa mengikutinya,” jelas Asep.

Selain itu, Asep juga menjelaskan penyusunan harga perkiraan sendiri atau HPS yang ditentukan bukan berdasarkan harga dari produsen barang. Melainkan dari pihak EEL selaku vendor yang akan melakukan pengadaan.

“Jadi kan biasanya kalau barang ya, itu tanya ke prinsipalnya atau pembuatnya atau mungkin perwakilan resmi yang ada di Indonesia. Barang itu harga pokoknya berapa, seperti itu. Tapi ini tidak dilakukan seperti itu. Karena harga prinsipal pasti lebih murah gitu ya,” ungkap Asep.

Dia pun menjelaskan dari tindakan yang dilakukan ini, tersangka CBH menerima Rp 525 juta dari EL dan sebuah serta dua ekor Kuda. Kemudian menerima sepeda Cannondale dari EL seharga Rp60 juta.

Sementara tersangka RSK menerima sejumlah uang selama periode 2000-2004 dengan total Rp19,72 miliar. Asep pun menyampaikan dari kasus korupsi ini, negara mengalami kerugian hingga Rp 744 miliar.

“Krugian keuangan negara yang dihitung dengan metode real cost, sekurang-kurangnya sebesar Rp 744.540.374.314,” pungkasnya.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp
Email
X
Threads
Pinterest
Telegram

Tinggalkan Balasan

Ikuti Kami :

Berita Serupa

Berita Terbaru

Twitter Kami

Load More

Tag Berita