Mediapasti.com – Potensi perang baru pecah di Arab terus menjadi ketakutan global. Ketegangan terbaru antara Israel dan Hizbullah, di tengah perang yang masih bekercambuk antara Israel dan Hamas di Gaza, kini menyeret Houthi.
Milisi di Yaman itu selama ini memang telah meningkatkan “kampanyenya” melawan Israel sebagai bentuk solidaritas ke warga Gaza atas serangan militer Tel Aviv. Mulai dari merebut dan menargetkan kapal-kapal dagang di lepas pantai Yaman, menembakkan rudal balistik jarak jauh ke kota pelabuhan Laut Merah Israel, Eilat, dan menghantamkan pesawat nirawak berat ke sebuah gedung di pusat kota Tel Aviv sekitar 100 meter dari konsulat Amerika Serikat (AS).
Namun kali ini, kelompok yang juga merupakan proksi Iran ini meneriakkan “tahap baru” perang dengan Israel. Bahkan meminta negara-negara Arab dan Muslim untuk bersatu membantu melancarkannya.
“Yaman dan pemimpinnya memasuki tahap konflik baru, aliansi baru sedang diciptakan tanpa garis merah,” kata anggota biro politik Houthi Ali al-Qahoum, merujuk Houthi dengan kata Yaman, sebagaimana dimuat Sputnik, Selasa (30/7/2024).
“Selama Israel ada, tidak akan ada perdamaian. Ini adalah pertempuran eksistensial,” tambahnya.
“Sudah waktunya untuk menyatukan orang Arab dan Muslim, menggunakan peluang mereka dan berdiri bersama dalam pertempuran ini untuk melestarikan identitas Islam dan Arabisme dalam menghadapi tantangan, bahaya, dan ‘Setan Besar’ yang diwakili oleh Amerika dan Israel,” kata pejabat itu lagi menggunakan istilah dari Revolusi Islam 1979 di Iran, yang biasanya merujuk AS.
Pernyataan Al-Qahoum menandakan peningkatan tajam posisi Houthi dalam menyikapi krisis terbaru Timut Tengah, pasca serangan roket ke Dataran Tinggi Golan Israel, di mana Hizbullah dituding bertanggung jawab. Meski Hizbullah menyangkal, PM Israel Benjamin Netanyahu telah mengatakan akan merespons kejadian yang menewaskan 12 anak dan remaja di wilayah itu.
Dataran Tinggi Golan sendiri dianeksasi Israel tahun 1967. Mereka yang menjadi korban serangan adalah suku Druze, etnis Arab yang sebagian besar Muslim, tapi tak memiliki kartu kewarganegaraan Israel hanya kependudukan.
Houthi sendiri memang kerap tak malu menggunakan retorika yang semakin tajam. Januari lalu, kelompok itu memperingatkan Washington pbahwa Yaman akan menjadi “kuburan” bagi Amerika.
AS, ancamnya, akan dipaksa untuk meninggalkan wilayah tersebut dalam keadaan malu. Ini setelah angkatan laut AS dan Inggris melancarkan kampanye serangan udara dan rudal di Yaman.
Di Maret, al-Qahoum mengatakan bahwa Houthi “bekerja sama” dengan negara-negara yang sedang bangkit di dunia untuk “menenggelamkan Amerika dan Barat dalam lumpur di sekitar Laut Merah”. Ini, tambahnya, agar “mereka terpuruk, melemah, dan tidak mampu mempertahankan unipolaritas”.
Perlu diketahui ketegangan antara Houthi dan Israel juga meningkat drastis selama seminggu terakhir setelah milisi tersebut menembakkan drone yang meledak di Tel Aviv pada tanggal 19 Juli. Satu orang tewas dalam serangan itu sementara tujuh terluka.
Israel bereaksi dengan meluncurkan jet F-35I untuk menargetkan kota pelabuhan Laut Merah Yaman barat, al-Hudaydah pada tanggal 20 Juli, yang menargetkan fasilitas minyak dan pembangkit listrik di sana. Setidaknya sembilan orang tewas dan 87 lainnya terluka dalam serangan Israel tersebut.
Kelompok Houthi telah bersumpah untuk menanggapi eskalasi tersebut. Juru Bicara Houthi Mohammed Abdulsalam, mengatakan akan memberikan tanggapan yang tak bisa dihindari.
“Agresi brutal Israel hanya akan meningkatkan tekad dan keteguhan rakyat Yaman dan pasukan bersenjata mereka yang berani, yang akan terus melanjutkan dan meningkatkan dukungan mereka untuk Gaza,” katanya.