Mediapasti.com – Perasaan dan mental pemain-pemain saya di tim Sulawesi Tengah hancur melihat semua yang terjadi saat pertandingan melawan tim Aceh di perempat final PON 2024. Saya bukan bicara soal hasilnya, tetapi bicara soal cara wasit memimpin pertandingan. Kami dikerjai habis-habisan.
Pertandingan di Stadion H. Dimurthala awalnya berjalan normal sampai kami mencetak gol pada menit ke-25. Mulai dari situ awal mula pertandingan tidak berimbang. Dalam hal kepemimpinan, dalam hal memberikan keputusan, wasit tidak lagi berimbang setelah terjadi gol pertama.
Saya melihat gelagat ada kepanikan yang terjadi di dalam, baik itu dari pihak wasit maupun pemain Aceh. Kalau dari pemain Aceh, saya pikir itu hal yang normal ya. Tim tuan rumah ketinggalan pasti ada kepanikan untuk bisa membalas gol kami.
Dari aspek wasit, saya lihat dalam setiap keputusan yang diberikan oleh mereka mulai lebih banyak kelirunya. Kalau satu atau dua kesalahan saya pikir itu wajar namanya manusia. Tetapi kesalahan ini sudah di luar batas kewajaran dari seorang wasit yang memberikan keputusan. Saya tidak asal memberikan komentar, tetapi itu bisa dibuktikan bagi yang menyaksikan pertandingan ini melalui layar televisi. Saya pikir orang yang tidak mengerti bola pun akan berpikir yang sama, apalagi orang yang mengerti bola.
Makanya sebenarnya saya sempat berpikir bahwa seberani inikah perangkat pertandingan mengambil keputusan. Padahal kita tahu bersama bahwa pertandingan Aceh melawan Sulteng ini disiarkan langsung. Bukan hanya beberapa orang saja yang bisa nonton, ini semua orang bisa nonton. Dan saya pikir terlalu berani untuk wasit melakukan hal tersebut.
Berapa kali pemain saya dilanggar namun tidak diberikan pelanggaran oleh wasit. Bahkan ketika pemain saya ditanduk pun atau ada pemain Aceh yang melakukan pelanggaran, malah pemain saya yang diberikan kartu.
Ada juga momen pemain saya ditendang kepalanya di area kotak penalti tidak diberikan pelanggaran. Anehnya pemain lawan diberikan kartu kuning tapi tim saya tidak diberikan penalti. Jadikan lucu.
Saya bahkan sampai bertanya ke asisten wasit pada saat itu: “Kenapa kamu tidak memberikan pelanggaran?”. Asisten wasit menjawab: “Itukan sudah diberikan kartu kuning”. Ini kan bukan masalah kartunya, saya mempermasalahkan pelanggarannya. Harusnya kan ketika wasit memberikan kartu otomatis ada pelanggaran di sana.
Harusnya kan ada tendangan penalti yang terjadi, nah ini tidak. Aturan dari mana wasit memberikan kartu tapi tidak memberikan pelanggaran. Saya pikir ini salah, enggak ada aturan seperti ini.
Di fase grup, tim kami memang melihat ada beberapa keputusan wasit yang salah dan saya pikir itu hal yang normal karena wasit juga manusia biasa. Mungkin juga tergantung sudut pandang wasit.
Misal dari sudut pandang wasit itu menunjukkan pelanggaran, sedangkan dari kacamata kami sebagai pelatih itu tidak menunjukkan pelanggaran. Satu sampai tiga kali kesalahan saya pikir itu hal yang wajar dan kami pelatih pun bisa memahami.
Tetapi apa yang saya lihat kemarin, itu bukan sebuah hal yang wajar lagi. Kalau bisa dibilang di fase grup kenapa wasit bisa memimpin secara fair, saya pikir karena tidak melawan tim yang bukan tuan rumah. Bahkan ketika tim kami melawan tim Sumut, tuan rumah bersama Aceh di PON kali ini, saya pikir wasitnya sangat fair, tidak ada menguntungkan salah satu pihak.
Tapi mengapa saat Sulteng melawan tuan rumah Aceh seperti berbeda 180 derajat tingkah wasit dan saya pikir sangat-sangat merugikan. Saya tidak berbicara hasil. Saya akan terima apapun hasilnya, mau tim saya kalah atau apapun itu, saya akan terima asalkan memang betul-betul memimpin secara fair. Nah, sedangkan ini semua mata melihat bahwa ini memang sudah tidak benar, seperti itu.
Kalau dibilang pengaruh atmosfer di stadion saya pikir semuanya sama. Artinya di perwasitan pun ada yang namanya pembekalan mental. Saya kira enggak ada tekanan, harusnya tekanan dirasakan tim tamu karena lawan tim tuan rumah.
Jadi saya pikir enggak ada tekanan sama sekali. Dan kalaupun ada, saya pikir di kursus perwasitan kan ada pembekalan mental. Setiap wasit yang memimpin pertandingan pun sudah dipersiapkan pengamanan agar wasit itu tidak bisa diintimidasi oleh salah satu tim agar tidak merugikan. Saya pikir begitu.
Apa yang saya lihat kemarin memang dari bahasa tubuh wasit terlihat dia kebingungan. Artinya di satu sisi dia diharuskan untuk memenangkan tim tuan rumah, namun di satu sisi harus bisa juga memimpin pertandingan secara adil.
Bingung karena ada dilema tetapi pada saat itu memang wasit diharuskan, wasit diharuskan untuk menguntungkan tim tuan rumah. Kenapa saya bilang begitu? Karena pertama kali saya protes pun, saya minta wasit untuk diganti tapi mereka kekeh tidak mau ada pergantian.
Saya sudah meminta pergantian wasit dari sebelum penalti pertama karena saya melihat sudah banyak keputusan yang merugikan, terutama saat pemain saya dikartu merah. Saya sampaikan ini kepada orang-orang yang ada di area lapangan. Saya minta ke inspektur pertandingan, ke panitia, asisten wasit, saya meminta untuk dilakukan pergantian wasit.
Lalu mengapa saya bilang otomatis pertandingan ini sudah direncanakan? Karena begitu ada pergantian wasit saya pikir pertandingan akan jadi berbeda, bisa berjalan sedikit lebih normal pertandingannya. Rupanya ibarat cuma ganti casing saja, karena wasit pengganti menghukum tim saya dengan penalti juga walau tidak ada pelanggaran yang terjadi. Dan lucunya memang setelah penalti kedua itu baru pertandingan babak kedua selesai.
Kalau saya pikir lagi sekarang jika tidak ada penalti kedua, kalau belum terjadi gol maka pertandingan Aceh lawan Sulteng kemarin tidak akan selesai. Padahal waktu pertandingan seharusnya sudah habis sebelum tim Aceh dapat penalti yang kedua.
Setelah pergantian wasit, wasit pengganti juga mencari-cari makanya beberapa kali Aceh diberikan pelanggaran di area dekat kotak penalti. Akurasi tendangan dari pemain Aceh memang tidak ada yang akurat. Dan karena wasit juga dikejar oleh waktu dan kami pun yang di pinggir lapangan juga protes mengingatkan wasit bahwa waktunya sudah habis akhirnya ditunjuklah titik penalti itu.
Di pertandingan ini, tim Sulteng kalau cuma diganjar kartu merah pertama, saya masih yakin kalau pemain saya masih kuat, masih sanggup walaupun satu kartu merah. Saat kartu merah kedua pun, saya masih coba meyakinkan mereka. Tapi ketika diberikan penalti pertama itu, pemain saya mentalnya jatuh sekali.
Selama 22 tahun karier saya sebagai pesepakbola, seburuk-buruknya perlakuan wasit, saya belum pernah dapat yang seburuk ini. Ironisnya ini terjadi di tahun 2024.
Mungkin dulu di zaman saya masih bermain wajar ya ada tiba-tiba kartu merah karena tidak semua pertandingan disiarkan secara langsung. Tapi di zaman sekarang kan semuanya sudah disiarkan, wasit harus menimbang banyak hal sebelum berani melakukan hal-hal yang buruk.
Saya pikir tidak ada alasan untuk memperingatkan wasit yang seperti ini. Saya pikir memang harus ada tindakan tegas karena ini dipertontonkan secara jelas di depan khalayak ramai. Saya pikir tidak ada alasan untuk tidak memberikan sanksi terhadap wasit ini.
Apapun alasan yang wasit berikan, tidak ada yang bisa dibenarkan. Saya pikir semuanya jelas, apa yang ditampilkan di layar televisi. Kalau misalkan wasit bilang khilaf, satu, dua, atau tiga kali kesalahan saya pikir itu hal yang wajar tetapi yang ditampilkan dari menit 25 ke atas menurut saya itu bukan sebuah kekhilafan. Memang itu sebuah perintah yang mengharuskan pertandingan pada saat itu ya seperti itu.
Ini kan sebenarnya banyak wasit-wasit muda yang memimpin pertandingan. Saya pikir wasit-wasit ini yang akan dipromosikan untuk memimpin Liga 3, juga Liga 2 nantinya. Mungkin saya bisa katakan ini sebagai ajang uji coba juga jadinya.
Kalau kita lihat ke pemain, ini menjadi kesempatan bagi pemain, batu loncatan bagi mereka agar bisa dilirik oleh tim-tim liga atau talent scouting. Begitu juga dengan wasit, saya pikir wasit-wasit muda ini, di PON ini sebagai ajang mereka, sebagai batu loncatan mereka untuk bisa direferensikan, dipromosikan memimpin pertandingan di liga.
Namun dengan hal-hal yang mereka lakukan kemarin saya pikir Komisi Wasit harus lebih jeli dalam menyeleksi perangkat pertandingan. Saya tahu tujuan utama dari ketua umum PSSI Erick Thohir kan ingin memperbaiki kualitas kompetisi kita, ingin memperbaiki kualitas wasit. Makanya dibantu dengan pengadaan VAR. Saat ini kepercayaan masyarakat sudah kembali, eh malah dirusak lagi oleh wasit-wasit muda ini. Saya pikir ini hal yang harus kita benahi bersama.
Terus terang dari awal saya memegang tim ini fokus saya membenahi mental dan sikap mereka karena kebiasaan-kebiasaan pemain, apalagi pemain tarkam kan. Itu fokus utama saya membenahi mental dan sikap mereka, baik di dalam lapangan atau di luar lapangan.
Bahkan saat fase grup kemarin, ada salah satu pemain saya melakukan pelanggaran sampai diberikan kartu kuning saya denda mereka Rp500 ribu. Saya tidak mau mereka bermain tidak sportif. Saya tidak pernah mengajarkan mereka untuk memancing keributan dalam pertandingan, tidak pernah sekalipun.
Namun ketika ada kejadian seperti kemarin itu memang sudah di luar dari kontrol saya. Ketika pemain saya melakukan pelanggaran pun mereka tidak pernah bereaksi berlebihan, bahkan ketika mereka mendapatkan kartu merah pertama dan ketika mendapatkan kartu merah kedua itu saya akui memang pelanggaran. Ketika diganjar kartu kuning pun masih wajar tapi kalau sudah dapat kartu merah langsung menurut saya berlebihan.
Nah, mungkin di kartu merah kedua pun pemain saya masih bisa terima. Saat wasit memberikan penalti tanpa ada sentuhan apapun, di situ mereka kesal dengan keputusan wasit. Kami jajaran pelatih melihat keputusan itu di pinggir lapangan sangat kesal dengan keputusan tersebut, apalagi mereka yang sedang bermain di dalam lapangan. Dikerjai habis-habisan.
Mereka pemain-pemain muda yang mentalnya masih labil. Mereka tidak ada niat untuk melakukan itu. Andai ada niat untuk melakukan itu kenapa tidak dari kartu merah pertama mereka melakukan hal tersebut?
Begitu aksi pemukulan itu dilakukan pemain saya, Muhammad Rizki, saya langsung memarahi dia. Saya tanya: “Kenapa kamu melakukan hal seperti itu, kan saya tidak mengajari?.”
Lalu dia bilang: “Saya refleks coach, karena capek kami dikerjain begini terus”. Saya bilang: “Ya, tapi jangan sampai kayak gini, kasian kamunya. Orang semua melihat, ngapain kita bertindak anarkis.”
Setelah pertandingan pun di ruang ganti. orang tua Rizki langsung menelpon saya, minta tolong. Lalu saya bilang: “Baik bu saya akan tanggung jawab, saya akan melakukan pendampingan buat Rizki.”
Ini merupakan tindakan refleks dari Rizki. Puncak amarahnya Rizki setelah dipermainkan di dalam pertandingan dan dia tahu bahwa itu salah.
Tetapi mau bagaimana sekarang semua sudah terjadi. Sekarang saya hanya bisa menguatkan mental mereka, memperbaiki mental mereka. Mungkin bisa dilihat sendiri dari beberapa video yang beredar di media sosial, hampir seluruh pemain saya menangis. Kita bisa melihat bagaimana hancurnya mental mereka, bahkan pemain saya yang meminta untuk tidak bermain lagi.
Sekarang, siapa yang mau saya mainkan kalau misalkan seluruh pemain saya yang bermain di dalam lapangan, meminta untuk diganti dan meminta untuk tidak bermain. Kan bisa kita bayangkan sehancur apa mental mereka.
Para pemain saya ini saat diganjar penalti pertama sudah tidak mau bermain. Makanya saya lama di locker room, saya koordinasi dengan ketua Asprov Sulteng. Akhirnya saya mencoba meyakinkan mereka lagi. Akhirnya mereka mau bermain. Ternyata penaltinya bisa ditepis. Saya pikir masalah itu sudah selesai, sudah clear, ternyata masih ada penalti berikutnya.
Saat pertandingan dihentikan pas tendangan penalti pertama saya juga melihat perangkat pertandingan begitu ‘sibuk’. Baik itu dari panitia, liaison officer, terlalu sibuk keluar masuk ruang ganti kami.
Mereka bilang: “Ayo main, ayo main, ayo main”. Dan di situ saya bilang: “Saya akan bermain jika ada pergantian wasit”. Saya katakan, “Mengapa kok ini semua berubah ketika terjadi gol pertama? Mengapa kalian semua terlihat panik?”
Begitu penalti kedua diberikan kami berhenti lagi. Terus setelah berhenti, ditambah empat menit lagi tambahan waktu. Harusnya kan sampai 107, tapi waktu bertambah lagi sampai 120 menit, dari situ pun kan sudah salah. Ya memang mereka menunggu gol, baru diberhentikan pertandingan.
Saya yakin jika penalti yang di menit-menit akhir itu tidak masuk, pertandingan belum akan selesai. Saya yakin itu, gimana caranya lah. Misal penaltinya tidak gol, mungkin itu diulang dengan alasan ada pemain saya yang masuk terlalu cepat ke kotak penalti atau kiper saya yang bergerak lebih dulu. Bisa jadi kan?
Kembali saya tegaskan soal ini. Saya tidak masalah kalah atau menang yang saya pertimbangkan mental pemain saya. Itu saja.
Bisa dilihat sehancur apa mental pemain saya dikerjai habis-habisan. Di usia mereka, padahal ini usia-usia emas bagi mereka untuk menanjak ke level yang lebih tinggi tapi ini malah hancur, malah dipertontonkan hal yang tidak baik. Nah ini saya pikir kurang tepat, kurang bagus.
Satu yang pasti, saya tetap tidak setuju apa yang dilakukan pemain saya dan memang dia pantas mendapatkan sanksi. Tetapi yang harus dilihat disini soal sebab akibatnya karena tidak mungkin pemain saya melakukan ini jika tidak ada sebabnya.
Kemudian yang kedua, dia melakukan pemukulan juga tidak ada niat. Itu bentuk refleksnya setelah beberapa kejadian yang merugikan tim di malam hari itu. Saya harap, baik itu Komdis PSSI atau bapak Ketua Umum PSSI Erick Thohir bisa melihat itu secara objektif terhadap kasus pemain saya. Tetapi, tentu saya tetap tidak pernah membenarkan apa yang sudah dilakukan oleh pemain saya, seperti itu.
Harapan saya sebelum menjatuhkan sanksi, Komdis PSSI baiknya melihat pertandingan itu secara utuh baru memutuskan sesuatu.