Mediapasti.com – Gubernur Aceh, Muzakir Manaf atau yang akrab disapa Mualem, mengadakan pertemuan khusus pada Jumat malam (13/6/2025) di Banda Aceh.
Rapat ini melibatkan anggota FORBES DPR dan DPD RI asal Aceh, pimpinan dan anggota DPRA, ketua fraksi serta partai politik lokal, pejabat eksekutif seperti Plt. Sekda Aceh, kepala SKPA dan biro, para akademisi, serta tokoh ulama terkemuka di Aceh.
Pertemuan tersebut digelar sebagai respons terhadap keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang melalui dua Keputusan Menteri menyatakan bahwa empat pulau—Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Kecil, dan Pulau Mangkir Besar termasuk wilayah Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Mualem: Penetapan Sepihak Kemendagri Tidak Berdasar
Dalam sambutannya, Gubernur Mualem menegaskan bahwa Pemerintah Aceh menolak secara tegas penetapan sepihak tersebut, yang dianggap bertentangan dengan dokumen historis, legalitas hukum, dan realitas pelayanan administratif selama puluhan tahun.
“Pemerintah Aceh menolak keras penetapan sepihak Kemendagri. Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Kecil, dan Mangkir Besar adalah bagian dari Aceh berdasarkan hukum, sejarah, dan pelayanan administratif,” tegas Mualem.
Dua keputusan kontroversial itu adalah:
- Kepmendagri No. 050-145 Tahun 2022
- Kepmendagri No. 100.1.1-6117 Tahun 2022
Keduanya menyatakan bahwa keempat pulau tersebut masuk ke dalam wilayah administratif Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Dasar Hukum dan Historis yang Memperkuat Klaim Aceh
Pemerintah Aceh memaparkan sejumlah dokumen dan data yang memperkuat bahwa keempat pulau tersebut secara sah merupakan bagian dari Aceh:
Dokumen Historis dan Legal
- Surat Gubernur Sumatera Utara tahun 1953 menyatakan bahwa Pulau Panjang dan Pulau Lipan berada dalam wilayah Aceh.
- UU No. 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Aceh menegaskan batas wilayah Aceh yang mencakup area pesisir dan kepulauan.
- UU No. 11 Tahun 2006 (UUPA) menegaskan otonomi dan wilayah administratif Aceh secara khusus, termasuk hak pengelolaan kawasan kepulauan.
Data Pemetaan Resmi
- Pemetaan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2016 dan 2018 menunjukkan bahwa koordinat geografis empat pulau itu berada dalam wilayah Aceh.
- Hasil survei lapangan Tim Pemetaan Pulau Aceh, yang menyertakan keempat pulau dalam laporan resmi.
Administrasi dan Pelayanan
Selama puluhan tahun, keempat pulau ini telah:
- Dikelola secara administratif oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil.
- Mendapat pelayanan publik dari Pemerintah Aceh, termasuk data kependudukan dan keagamaan.
- Masuk dalam dokumen resmi Aceh, termasuk:
- SK Gubernur Aceh No. 050/933/2016 yang memasukkan keempat pulau dalam daftar pulau-pulau milik Aceh.
- Daftar validasi pulau dari rapat Kemendagri tahun 2022 di Bali, yang sempat menerima data Aceh tanpa koreksi.
Tuntutan Resmi Pemerintah Aceh kepada Pemerintah Pusat
Dalam pertemuan itu, seluruh peserta menyepakati tiga poin tuntutan utama:
- Kemendagri diminta mencabut keputusan sepihak yang memasukkan empat pulau ke wilayah Sumut.
- Proses validasi ulang batas wilayah dilakukan secara terbuka, melibatkan pemerintah pusat dan daerah, serta berbasis pada data historis dan teknis yang obyektif.
Pengembalian keempat pulau ke dalam wilayah administratif Aceh, sebagaimana telah berlangsung selama ini.
Selain membahas soal perbatasan, Gubernur Mualem juga menyinggung rencana revisi UU Pemerintahan Aceh (UUPA).
Ia mengingatkan bahwa setiap perubahan terhadap UUPA harus berpijak pada semangat perjanjian damai MoU Helsinki 2005, yang menjadi landasan hukum perdamaian antara RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
“Kita harus menjaga amanat perdamaian. Revisi UUPA harus memperkuat kekhususan Aceh, bukan menguranginya,” ujar Mualem.
Ia juga meminta agar seluruh anggota FORBES DPR/DPD RI asal Aceh bersatu suara dalam mengawal revisi ini agar tidak menyimpang dari ruh MoU Helsinki, yang telah diakui secara nasional maupun internasional.
Seluruh unsur dalam rapat—dari legislatif, eksekutif, akademisi, hingga tokoh agama—sepakat untuk:
- Mengawal hak wilayah Aceh secara kolektif.
- Mendukung penuh perjuangan mempertahankan kekhususan Aceh, baik dari sisi administratif maupun legal.
- Menolak segala upaya pengurangan otonomi Aceh, baik melalui revisi UUPA yang tidak berpihak, maupun keputusan administratif dari pusat yang merugikan Aceh.