Menteri Perdagangan Era Presiden Joko Widodo (Jokowi), Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong, dijatuhi vonis 4,5 tahun penjara akibat kebijakan importasi gula yang dia lakukan saat menjabat. Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat membacakan vonis bui tersebut pada Jumat (18/7/2025) kemarin.
Kata Majelis Hakim, Tom Lembong bersalah dan telah melakukan tindak pidana korupsi seperti yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum (JPU). “Menjatuhkan pidana kepada terdakwa, Thomas Trikasih Lembong, oleh karena itu dengan pidana penjara selama 4 tahun dan 6 bulan,” kata Ketua Majelis Hakim Dennie Arsan Fatrika saat membacakan amar putusan.
Alasan utama majelis hakim menjatuhkan vonis tersebut adalah terpenuhinya unsur perbuatan melawan hukum dan menyebabkan kerugian negara.
Hakim Purwanto menyebutkan, fakta persidangan mengungkap kebijakan impor GKM oleh Tom Lembong melanggar ketentuan Undang-Undang tentang Perdagangan. Selain itu, hakim juga mempertimbangkan temuan dalam audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait importasi gula tahun 2016 hingga semester pertama 2017. “Penerbitan persetujuan impor dalam rangka menjaga ketersediaan dan stabilisasi gula kristal putih (GKP) 2016 sampai semester 1 2017 sebanyak 1.698.325 ton tidak melalui rakor,” kata Hakim Purwanto di ruang sidang.
Hakim juga menilai, kebijakan impor GKM itu juga tidak sesuai dengan Keputusan Menteri Perdagangan dan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 117 yang mengatur impor gula. Majelis hakim lalu menyimpulkan, perbuatan Tom Lembong menerbitkan persetujuan impor GKM itu dilakukan secara melawan hukum.
“Menimbang bahwa berdasarkan atas pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas majelis hakim berkesimpulan bahwa unsur secara melawan hukum telah terpenuhi dalam wujud perbuatan terdakwa,” ucap dia.
Kerugian negara Rp 194 M
Dalam kesempatan yang sama, hakim anggota Alfis Setiawan menjabarkan jumlah kerugian keuangan negara akibat kebijakan yang diambil Tom Lembong saat menjadi Menteri Perdagangan.
Menurut Hakim Alfis, jumlah kerugian keuangan negara dalam perkara ini adalah Rp 194.718.181.818,19, bukan Rp 578.105.411.622,47 sebagaimana kesimpulan jaksa.
Komponen pertama merupakan kemahalan pembayaran PT PPI kepada sejumlah perusahaan gula swasta dalam pengadaan gula kristal putih (GKP) atau gula pasir yang dibeli di atas harga pokok penjualan (HPP) petani.
Dari pabrik swasta itu, PT PPI membeli GKP senilai Rp 9.000 per kilogram, sementara HPP saat itu adalah Rp 8.900 per kilogram.
Majelis hakim menyatakan sepakat bahwa kemahalan ini sebagai kerugian keuangan negara. Namun, majelis menyatakan tidak sependapat dengan komponen kedua, yakni kerugian negara Rp 320.690.559.152.
Angka tersebut merupakan selisih dari pembayaran bea masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) gula kristal mentah (GKM) dan gula kristal putih (GKP).
“Perhitungan selisih pembayaran bea masuk dan PDRI gula kristal putih dengan gula kristal mentah sejumlah Rp 320.690.559.152 merupakan perhitungan yang belum nyata dan pasti benar-benar terjadi serta dapat dihitung secara jelas dan terukur atau diukur secara pasti,” tutur Hakim Alfis.
Tom Lembong Dipastikan Tak nikmati hasil korupsi
Meski disebut telah melawan hukum dan merugikan negara, majelis hakim Tipikor PN Jakarta Pusat menegaskan dalam putusannya bahwa Tom Lembong tak sepeser pun mendapatkan hasil dari tindakan korupsi itu. Hal ini diungkap hakim Alfis saat membacakan pertimbangan hal-hal yang meringankan untuk Tom dalam menjatuhkan vonis.
“Terdakwa tidak menikmati hasil tindak pidana korupsi yang dilakukan,” kata Alfis.
Beberapa hal meringankan lainnya adalah Tom Lembong belum pernah dihukum, bersikap sopan di persidangan, dan telah menitipkan uang kepada Kejaksaan Agung saat penyidikan sebagai pengganti kerugian keuangan negara. Namun, hakim juga menilai beberapa hal yang memberatkan Tom Lembong, seperti jabatan menteri yang tidak mengedepankan ekonomi kapitalis.
Tom Lembong juga tidak melaksanakan tugas dan tanggung jawab berdasarkan kepastian hukum dan ketentuan undang-undang.
Dia juga dinilai tidak melaksanakan tugas sebagai Menteri Perdagangan secara akuntabel, khususnya untuk mengendailkan stabilitas harga gula, dan mengabaikan kepentingan masyarakat untuk mendapat harga yang stabil dan terjangkau.
Sebut putusan janggal
Usai sidang, Tom mendapat kesempatan mengungkapkan opininya kepada awak media terkait vonis yang dia terima. Kata Tom, putusan majelis hakim janggal karena sepenuhnya mengabaikan kewenangan Menteri Perdagangan yang saat itu dia jabat. “Kedua, yang sedikit, bukan sedikit ya, lebih dari sedikit janggal atau aneh bagi saya, sih ya, majelis mengesampingkan wewenang saya sebagai Menteri Perdagangan,” kata Tom.
Tom mengatakan, undang-undang, peraturan pemerintah, dan semua peraturan perundang-undangan terkait jelas memberikan mandat kepadanya sebagai Mendag dalam tata niaga bahan pokok. Namun, setelah dicermati, putusan majelis hakim mengabaikan seorang Mendag.
Ia lantas menyimpulkan bahwa majelis hakim mengabaikan hampir semua fakta persidangan. “Terutama keterangan saksi ahli bahwa yang berwenang adalah menteri teknis bukan Menko, bukan juga rakor (rapat koordinasi) pada menteri sebagai sebuah forum koordinasi, tapi tanggung jawab wewenang untuk mengatur, sektor teknis tetap melekat pada kementerian teknis,” ujarnya.
Ia mencontohkan produk hukum setingkat menteri koordinator (menko) yang mengatur detail persoalan pertanian. Masalah pertanian diatur sendiri oleh Menteri Pertanian sebagaimana persoalan perindustrian menjadi kewenangan Menteri Perindustrian. “Jadi itu kejanggalan yang cukup besar bagi saya ya, majelis mengabaikan mandat, undang-undang, wewenang, yang melekat pada menteri teknis dan kepada forum rakor apalagi kepada Menko, menteri koordinator,” tutur Tom.