USTR Soroti Hambatan Non-Tarif di Indonesia: Impor Makin Sulit, Sistem OSS dan Neraca Komoditas Jadi Sorotan

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp
Email
X
Threads
Pinterest
Telegram

Mediapasti.com – Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) kembali menyoroti kebijakan perdagangan Indonesia dalam laporan tahunan 2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers.

Dalam dokumen setebal ratusan halaman itu, Indonesia disebut sebagai negara yang menerapkan sejumlah hambatan perdagangan non-tarif (non-tariff barriers) yang dianggap mengganggu akses pasar bagi pelaku usaha asal AS.

Salah satu sorotan utama adalah sistem perizinan impor Indonesia yang dinilai tumpang tindih dan menyulitkan dunia usaha.

Izin Impor API-U dan API-P Dinilai Kaku dan Tidak Fleksibel

USTR menyoroti kebijakan Kementerian Perdagangan (Kemendag) RI yang mewajibkan semua importir memiliki izin impor tertentu, yaitu:

  • API-U (Angka Pengenal Importir Umum): Untuk mendistribusikan barang.
  • API-P (Angka Pengenal Importir Produsen): Untuk kepentingan produksi internal perusahaan.

Namun, perusahaan tidak diperbolehkan memiliki kedua jenis izin secara bersamaan. Bahkan untuk keperluan uji pasar atau layanan purna jual, importir API-P hanya diizinkan mengimpor barang dalam kondisi baru, sesuai izin usaha, dan harus memenuhi berbagai persyaratan teknis yang ketat.

OSS Jadi Sumber Masalah Baru: Integrasi Sistem yang Belum Optimal

Sejak diberlakukannya Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2021, pelaku usaha wajib menggunakan sistem daring Online Single Submission (OSS) untuk mendapatkan Nomor Induk Berusaha (NIB) sebagai dasar perizinan usaha sekaligus izin impor.

Namun, dalam praktiknya, OSS dinilai belum sepenuhnya efektif. Banyak perusahaan melaporkan kendala teknis, seperti:

  • Proses integrasi antara regulasi pusat dan daerah belum sinkron.
  • Sistem sering mengalami gangguan teknis.
  • Prosedur pendaftaran dan validasi dokumen kerap memakan waktu lama.

Masalah-masalah ini disebut telah menyebabkan keterlambatan impor dan memperbesar biaya logistik bagi pelaku usaha.

Kebijakan Neraca Komoditas Perparah Hambatan Impor

Penerbitan Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2024 tentang neraca komoditas turut menjadi perhatian serius dalam laporan USTR. Dalam kebijakan ini, izin impor hanya diberikan apabila kebutuhan dalam negeri dianggap belum mencukupi oleh pemerintah.

Baca Juga :   Acara musrembang di desa jejalen jaya kecamatan bekasi utara

Awalnya hanya berlaku untuk lima komoditas (beras, gula, ikan, daging, dan garam), cakupan kebijakan ini diperluas menjadi 19 produk, termasuk produk non-pertanian. Tahun 2025, bawang putih dimasukkan ke dalam daftar, dan pada 2026 mendatang, rencananya akan ditambah lagi dengan apel, jeruk, dan anggur.

Menurut USTR, kebijakan ini diterapkan tanpa proses konsultasi yang memadai dengan pelaku usaha dan memperburuk iklim bisnis karena proses implementasi yang tidak konsisten.

Permendag No. 36/2023 Timbulkan Kemacetan di Pelabuhan

Regulasi lain yang menuai kritik adalah Permendag No. 36 Tahun 2023 tentang kebijakan dan pengaturan impor. Peraturan ini memperketat izin impor dengan mencakup hampir 4.000 kode HS (Harmonized System).

Importir diwajibkan mengajukan Persetujuan Teknis ke kementerian teknis, di luar data teknis biasa. Hal ini sempat memicu kemacetan besar di pelabuhan pada Mei 2024 karena ribuan kontainer tertahan akibat izin yang belum lengkap.

Pemerintah Longgarkan Aturan Lewat Permendag No. 8/2024

Sebagai respons atas tekanan dari dunia usaha, pemerintah menerbitkan Permendag No. 8 Tahun 2024 pada 17 Mei 2024.

Peraturan ini mencabut sebagian kewajiban Persetujuan Teknis dan melonggarkan izin impor untuk mayoritas produk.

Namun, sejumlah barang seperti besi, baja, ban, bahan kimia industri, dan produk tekstil khusus (misalnya masker medis) tetap tunduk pada aturan lama.

AS Desak Transparansi dan Konsistensi dalam Kebijakan Impor Indonesia

Dalam kesimpulannya, USTR menilai bahwa kebijakan perdagangan Indonesia masih mengandung:

  • Kurangnya transparansi dalam proses perizinan.
  • Pembatasan kuantitatif yang tidak mencerminkan permintaan pasar.
  • Keterlambatan penerbitan izin, terutama di awal tahun fiskal.

Laporan ini memperkuat narasi bahwa AS akan terus mendesak Indonesia untuk menyelaraskan kebijakannya dengan prinsip perdagangan bebas dan terbuka.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp
Email
X
Threads
Pinterest
Telegram

Tinggalkan Balasan

Ikuti Kami :

Berita Serupa

Berita Terbaru

Twitter Kami

Load More

Tag Berita