Mediapasti.com – Sektor hotel dan restoran di DKI Jakarta sedang berada dalam kondisi yang sangat mengkhawatirkan.
Kombinasi dari menurunnya okupansi, anjloknya daya beli masyarakat, serta melonjaknya biaya operasional membuat pelaku usaha tertekan dari berbagai sisi.
Apabila tidak segera dilakukan intervensi kebijakan yang tepat dari pemerintah, krisis ini dikhawatirkan akan berdampak sistemik terhadap sektor ekonomi kreatif, pariwisata, hingga lapangan kerja.
Okupansi Hotel Turun Akibat Efisiensi Pemerintah dan Sepinya Acara
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DKI Jakarta, Sutrisno Iwantono, mengungkapkan bahwa saat ini hampir semua jenis hotel mengalami penurunan okupansi yang signifikan.
Penyebab utamanya adalah efisiensi anggaran dari instansi pemerintah yang selama ini menjadi salah satu sumber utama penyelenggaraan rapat dan acara di hotel.
“Seluruh jenis hotel terkena dampaknya, mulai dari hotel bintang satu hingga bintang lima. Pemangkasan anggaran perjalanan dinas pemerintah pusat maupun daerah membuat pemesanan ruang rapat dan penginapan menurun drastis,” kata Sutrisno kepada CNBC Indonesia pada Senin (2/6/2025).
Sebelumnya, kontribusi kegiatan MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition) yang digelar oleh pemerintah mencapai lebih dari 30% terhadap pendapatan hotel di Jakarta.
Dengan berkurangnya kegiatan ini, pendapatan hotel anjlok hingga 40% dalam empat bulan terakhir.
Daya Beli Lesu, Restoran Kehilangan Konsumen
Di sisi lain, sektor restoran dan layanan makanan juga tidak kalah terdampak. Penurunan daya beli masyarakat sebagai akibat dari tekanan inflasi, pengangguran terbuka, dan minimnya insentif fiskal menyebabkan penurunan jumlah kunjungan ke restoran, terutama di segmen menengah ke bawah.
“Banyak restoran yang biasanya penuh di akhir pekan, kini kosong. Konsumen lebih memilih makan di rumah karena faktor harga,” ujar salah satu pelaku usaha restoran di kawasan Cikini.
Survei yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Mei 2025 turun ke level 84,6 — jauh di bawah batas optimis sebesar 100.
Hal ini menjadi indikator bahwa masyarakat cenderung menahan pengeluaran untuk sektor tersier seperti makan di luar dan rekreasi.
Biaya Operasional Melejit: Air PDAM Naik 71%, Gas Industri Naik 20%
Tekanan tidak berhenti sampai di situ. Kenaikan tajam pada komponen biaya operasional memperparah situasi.
Tarif air bersih dari PDAM DKI Jakarta mengalami lonjakan sebesar 71% dalam enam bulan terakhir.
Sementara itu, harga gas industri yang menjadi kebutuhan utama dapur hotel dan restoran naik 20% pada kuartal pertama 2025.
“Kami tidak bisa menaikkan harga jual karena konsumen sudah sensitif harga. Jadi kami harus menanggung semua lonjakan biaya ini sendiri,” ujar seorang manajer hotel berbintang tiga di Jakarta Selatan.
Beban ini makin terasa berat karena beberapa pelaku usaha masih memulihkan diri dari dampak pandemi COVID-19 yang sebelumnya menyebabkan kerugian bertahun-tahun.
PHK Mengintai: Ribuan Pekerja Kontrak dan Harian Terancam
Dengan penurunan pendapatan dan lonjakan biaya, banyak pelaku industri mulai melakukan efisiensi tenaga kerja.
Sutrisno Iwantono menyatakan bahwa potensi PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) bisa mencapai 10–30% dari total tenaga kerja di sektor ini.
“Yang paling terancam adalah karyawan kontrak dan pekerja harian lepas. Beberapa hotel dan restoran sudah mulai mengurangi shift, bahkan menutup sementara layanan tertentu,” jelasnya.
Data dari Dinas Tenaga Kerja DKI Jakarta mencatat bahwa lebih dari 603.000 orang bergantung pada sektor perhotelan dan restoran di wilayah ini, menjadikannya salah satu penyerap tenaga kerja terbesar setelah sektor perdagangan dan jasa.
PHRI Desak Pemerintah Segera Bertindak
PHRI meminta pemerintah untuk tidak menganggap krisis ini sebagai penurunan musiman. Mereka menyarankan agar pemerintah segera:
- Memberikan relaksasi anggaran perjalanan dinas dan mendorong instansi kembali menggelar rapat di hotel.
- Mengucurkan insentif fiskal bagi pelaku usaha hotel dan restoran, seperti keringanan pajak restoran dan pajak hotel.
- Melakukan kampanye wisata domestik secara besar-besaran untuk menggerakkan kembali konsumsi dalam negeri.
- Mengevaluasi kebijakan tarif air dan gas industri agar tidak memberatkan sektor strategis.
“Kalau tidak ada intervensi cepat dari pemerintah, krisis ini bisa berdampak luas, bahkan ke sektor lain seperti UMKM, logistik, hingga seni budaya. Ini adalah sinyal bahaya,” tegas Iwantono.
Dampak Jangka Panjang: Efek Domino ke Sektor Ekonomi Lain
Sektor hotel dan restoran tidak berdiri sendiri. Mereka terhubung erat dengan industri lain seperti:
- UMKM penyedia bahan makanan dan perlengkapan hotel
- Sektor logistik yang memasok kebutuhan dapur dan peralatan
- Industri kreatif dan seni seperti musik, event organizer, dan pertunjukan budaya yang biasa diselenggarakan di hotel atau restoran
Jika sektor ini runtuh, maka dampaknya bisa merembet luas dan memperlambat pemulihan ekonomi secara nasional.