Mediapasti.com – Ribuan pengemudi ojek online (ojol), baik roda dua maupun roda empat, yang tergabung dalam organisasi Front Driver Online Tolak Aplikasi Nakal (Frontal), menggelar aksi demonstrasi besar-besaran di Kota Surabaya pada Selasa (20/5/2025).
Aksi bertajuk “Demo Frontal Level 7” ini dipusatkan di Jalan Ahmad Yani dan menyebar ke enam titik strategis, termasuk kantor pemerintah daerah dan perwakilan aplikator transportasi online.
Demo ini bukan hanya menjadi suara protes atas pemotongan komisi yang dinilai tidak adil, tetapi juga merupakan momentum konsolidasi para pengemudi online untuk mendorong hadirnya regulasi nasional tentang transportasi online, yang selama ini dinilai belum berpihak pada kepentingan para driver.
Potongan Komisi Capai 40 Persen: Jauh di Atas Ketentuan Pemerintah
Salah satu tuntutan utama yang disuarakan adalah soal potongan atau komisi yang dikenakan oleh perusahaan aplikator seperti Gojek, Grab, dan lainnya.
Menurut pernyataan Humas Frontal Jawa Timur, Samuel Grandy Kalengkongan, potongan yang diterapkan oleh aplikator saat ini berada pada kisaran 35 hingga 40 persen, jauh melampaui batas maksimal 20 persen yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 667 Tahun 2022.
“Realitanya di lapangan, potongan yang dikenakan ke driver mencapai 35 sampai 40 persen. Ini membuat banyak rekan pengemudi merasa sangat dirugikan dan tidak mendapatkan hak yang layak atas kerja keras mereka,” kata Samuel.
Komisi yang terlalu besar membuat penghasilan bersih driver sangat rendah, terutama di tengah naiknya harga kebutuhan pokok, biaya operasional kendaraan, dan persaingan yang semakin ketat antar pengemudi.
Lima Tuntutan Utama: Kesejahteraan dan Kepastian Hukum Mitra Pengemudi
Dalam aksinya, Frontal membawa lima tuntutan utama yang ditujukan kepada pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan aplikator. Tuntutan tersebut mencakup:
- Penurunan potongan komisi aplikasi menjadi maksimal 10 persen.
- Kenaikan tarif layanan pengantaran penumpang untuk meningkatkan penghasilan driver.
- Penerbitan regulasi resmi mengenai layanan pengantaran makanan dan barang.
- Penetapan sistem tarif bersih, yakni penghasilan yang diterima driver setelah potongan.
- Pembentukan dan pengesahan Undang-Undang Transportasi Online Indonesia sebagai payung hukum tetap bagi para pengemudi.
Menurut Frontal, selama ini pengemudi hanya dianggap sebagai “mitra” oleh aplikator tanpa perlindungan hukum dan sosial yang memadai. Padahal, mereka berperan vital dalam mobilitas masyarakat, khususnya di wilayah urban.
“Kami butuh kepastian hukum. Tidak bisa terus-menerus dibiarkan dalam status abu-abu. Pemerintah harus hadir melalui undang-undang yang melindungi driver,” tegas Samuel.
Aksi Serentak di Enam Lokasi Penting di Surabaya
Demonstrasi ini dilakukan secara serentak di beberapa lokasi yang dianggap strategis dan berpengaruh dalam pembuatan kebijakan:
- Kantor Dinas Perhubungan Provinsi Jawa Timur
- Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Jawa Timur
- Markas Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur
- DPRD Provinsi Jawa Timur
- Gedung Negara Grahadi (rumah dinas Gubernur)
- Kantor perwakilan aplikator transportasi online seperti Grab dan Gojek
Aksi berlangsung damai namun tegas. Para pengemudi membawa poster, spanduk, serta orasi menggunakan pengeras suara. Beberapa ruas jalan sempat mengalami kemacetan karena volume massa yang besar.
Latar Belakang Ketidakjelasan Status Hukum Driver Online
Sejak booming-nya transportasi online pada pertengahan 2010-an, status hukum para pengemudi hingga kini masih berada dalam kategori “mitra usaha”, bukan pekerja formal. Akibatnya, pengemudi tidak memiliki akses ke:
- Jaminan sosial dan kesehatan yang layak (BPJS Ketenagakerjaan/Kesehatan)
- Upah minimum yang adil dan transparan
- Perlindungan hukum dalam konflik dengan aplikator atau penumpang
Sementara itu, aplikator memiliki kewenangan penuh dalam menetapkan tarif, memutus kemitraan, serta melakukan pemotongan pendapatan, sering kali tanpa melalui dialog dengan driver.
Perspektif Ekonomi Digital: Ketimpangan Relasi Aplikator dan Mitra
Dalam lanskap ekonomi digital, perusahaan aplikasi transportasi online mendapatkan keuntungan besar dari model bisnis berbasis “sharing economy”.
Namun, para pakar ketenagakerjaan menilai bahwa relasi antara aplikator dan driver tidak seimbang. Aplikator memegang kendali penuh terhadap sistem, algoritma, hingga sanksi terhadap mitra.
Menurut data dari Asosiasi Driver Online Indonesia, rata-rata pengemudi di kota besar hanya mendapatkan pendapatan bersih sekitar Rp80.000 hingga Rp120.000 per hari, setelah dipotong biaya operasional dan komisi.
Angka ini masih di bawah UMP Jawa Timur 2025 yang sebesar Rp2.165.244 per bulan jika dikonversi secara rata-rata.
Seruan kepada Pemerintah: Segera Sahkan UU Transportasi Online
Frontal menegaskan bahwa aksi ini akan terus berlanjut jika tidak ada respons konkret dari pemerintah pusat maupun daerah.
Mereka mendorong agar DPR RI segera menginisiasi Rancangan Undang-Undang Transportasi Online yang memuat aspek:
- Kewajiban aplikator memberikan jaminan sosial
- Pengakuan status kerja pengemudi
- Batas potongan aplikasi yang adil
- Mekanisme penyelesaian sengketa antara driver dan aplikator