Mediapasti.com – Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengumumkan rencana kebijakan baru untuk menangani siswa yang terlibat tawuran, geng motor, hingga tindakan indisipliner berat lainnya.
Dalam gagasannya, para siswa bermasalah akan dikirim mengikuti pendidikan semi-militer selama 6 hingga 12 bulan sebagai bentuk rehabilitasi karakter.
Dedi menyebut bahwa program ini sudah dibahas bersama Pangdam III/Siliwangi, yang bahkan telah menyiapkan barak militer untuk mendukung pelaksanaannya.
“Ini sebagai langkah alternatif untuk menyelamatkan masa depan mereka. Tawuran dan geng motor sudah terlalu sering terjadi, tapi penyelesaiannya tidak pernah tuntas,” ujar Dedi dalam konferensi pers di Bandung, Senin (28/4/2025).
Bukan Sekadar Hukuman, Tapi Pembinaan Karakter
Menurut Dedi, pendekatan sekolah militer bukan ditujukan sebagai hukuman, melainkan sebagai upaya membangun kedisiplinan, rasa hormat, dan tanggung jawab dalam diri siswa.
Ia juga memastikan bahwa program ini hanya akan diterapkan jika mendapat persetujuan dari orang tua siswa.
“Minimal 6 bulan hingga 1 tahun. Tapi kami tidak memaksa. Ini berdasarkan persetujuan keluarga,” katanya.
Tanggapan Publik dan Dukungan Pihak Militer
Kebijakan ini mendapat respons beragam dari masyarakat.
Sebagian kalangan menilai langkah ini cukup progresif, sementara yang lain mengingatkan perlunya pengawasan ketat agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang.
Dari sisi militer, Kodam III/Siliwangi disebut telah menyatakan kesediaannya mendukung penuh program ini, termasuk menyediakan fasilitas pelatihan, pembina, dan kebutuhan dasar lainnya.
āKami siap jika dibutuhkan untuk pembinaan karakter melalui pendekatan militeristik,ā ujar salah satu perwira TNI yang enggan disebut namanya.
Tawuran Pelajar dan Geng Motor Masih Tinggi di Jawa Barat
Jawa Barat menjadi salah satu provinsi dengan tingkat tawuran pelajar tertinggi di Indonesia.
Data dari Kepolisian Daerah Jawa Barat mencatat lebih dari 300 kasus tawuran dan kekerasan geng motor sepanjang tahun 2024.
Fenomena ini bahkan sudah memakan korban jiwa, serta mengganggu ketertiban umum di sejumlah kota seperti Bandung, Bogor, hingga Bekasi.
Karena itu, kebijakan ini dinilai sebagai salah satu bentuk intervensi langsung dari pemerintah provinsi untuk menghentikan siklus kekerasan di kalangan remaja.