Mediapasti.com – Sebuah video yang menunjukkan aksi pembubaran kegiatan retreat pelajar Kristen di Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat, viral di media sosial.
Dalam rekaman tersebut, tampak sejumlah warga memasuki sebuah bangunan yang dijadikan tempat ibadah dan merusak berbagai fasilitas di dalamnya.
Massa terlihat memecahkan kaca jendela, merusak properti, hingga menghancurkan bagian taman dan gazebo.
Polisi: Itu Bukan Gereja, Tapi Rumah Singgah
Kasi Humas Polres Sukabumi, Iptu Aah Saifulrohman, membenarkan adanya peristiwa tersebut.
Namun, ia menegaskan bahwa bangunan yang dirusak bukanlah tempat ibadah resmi, melainkan rumah singgah yang diduga dijadikan lokasi kegiatan keagamaan.
“Tidak ada perusakan tempat ibadah atau gereja. Tempat itu adalah rumah singgah yang diduga digunakan untuk ibadah,” ujarnya dikutip dari Detikcom, Senin (30/6).
Menurut Aah, peristiwa terjadi pada Jumat (27/6). Pascakejadian, pihak kepolisian bersama unsur Forum Komunikasi Pimpinan Kecamatan (Forkopimcam) Cidahu telah melakukan musyawarah dengan tokoh agama dan masyarakat setempat.
Meski suasana telah kondusif, polisi memastikan tetap melakukan penyelidikan terhadap aksi perusakan tersebut.
“Yang dirusak adalah area taman, gazebo, fasilitas MCK, satu unit motor, dan gerbang rumah. Kami tetap menjaga kamtibmas di lokasi dan sedang melakukan proses penegakan hukum,” jelas Aah.
Kepala Desa: Warga Marah karena Teguran Diabaikan
Kepala Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu, Ijang Sehabudin, mengatakan bahwa aksi perusakan dilakukan sebagai bentuk kekecewaan warga terhadap pengelola rumah singgah yang dianggap tidak mengindahkan peringatan sebelumnya.
“Villa itu digunakan sebagai tempat peribadatan. Kami dari Forkopimcam sudah memberikan imbauan dan arahan, tapi tidak digubris. Setelah salat Jumat, masyarakat secara spontanitas mendatangi tempat tersebut,” ujarnya.
Peristiwa ini menuai sorotan luas karena menyangkut hak kebebasan beragama yang dijamin konstitusi Indonesia.
Komnas HAM dan organisasi keagamaan lintas iman telah mendesak kepolisian untuk mengusut tuntas perusakan fasilitas serta memastikan tidak ada bentuk diskriminasi terhadap kelompok minoritas.
Direktur SETARA Institute, Halili Hasan, mengungkapkan bahwa tindakan main hakim sendiri atas dasar dugaan pelanggaran administratif tidak dapat dibenarkan.
“Jika ada pelanggaran perizinan, seharusnya diselesaikan oleh pemerintah daerah, bukan dengan kekerasan oleh warga,” tegas Halili melalui keterangan tertulis.