Resesi Dunia di Depan Mata, Nasib Indonesia Gimana?

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp
Email
X
Threads
Pinterest
Telegram

MEDIAPASTI.COM – Ekonomi global diwarnai risiko resesi yang akan melanda pada 2023. Resesi ini dipicu oleh pengetatan moneter oleh banyak bank sentral, serta dampak berlarut-larut dari perang Ukraina dan Rusia, hingga kebijakan zero-Covid di China.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan resesi ini dipicu oleh inflasi yang tinggi akibat melesatnya harga pangan dan energi di sejumlah negara, khususnya Eropa dan AS. Inflasi tinggi memicu bank sentral di negara maju menaikkan suku bunga dan mengetatkan likuiditas.

Dia menegaskan kebijakan tersebut akan berdampak bagi pertumbuhan ekonomi dunia. Bahkan, negara berkembang pun ikut merasakan efeknya.

“Kalau bank sentral di seluruh dunia meningkatkan suku bunga cukup ekstrem dan bersama-sama, dunia mengalami resesi di 2023,” ujarnya, dalam Konferensi Pers APBN KITA Agustus, Senin (26/9/2022).

“Kenaikan suku bunga bank sentral di negara maju cukup cepat dan ekstrem dan memukul pertumbuhan negara-negara tersebut,” lanjut Sri Mulyani.

Suku bunga acuan di Inggris tercatat sebesar 2,25% atau naik 200 basis points (bps) dan AS sudah mencapai 3,25% setelah naik 300 bps. Sementara itu, AS diperkirakan akan kembali menaikkan sebesar 75 bps dan Eropa sebesar 125 bps.

“Ini kenaikan ekstrem, selama ini Eropa sangat rendah dari sisi policy rate-nya,” ujar Sri Mulyani. Pada kuartal II-2022, dia melihat pertumbuhan ekonomi China, AS, Jerman dan Inggris sudah mengalami koreksi.

Sri Mulyani melihat kondisi ini kemungkinan akan berlanjut di kuartal III dan sampai akhir tahun. “Sehingga prediksi pertumbuhan tahun ini dan tahun depan termasuk resesi mulai muncul,” ujarnya.

Bagaimana nasib Indonesia? Akankah ekonomi Tanah Air ikut terseret resesi?

Sri Mulyani menuturkan kinerja sektor eksternal Indonesia sangat positif, didukung neraca perdagangan yang melanjutkan tren surplus serta ekspor dan impor bulan Agustus 2022 yang merupakan tertinggi sepanjang masa.

Baca Juga :   Nadiem Telah Mencabut Aturan Ekstrakurikuler Pramuka Wajib Di Sekolah

Aktivitas manufaktur Indonesia masih terus menguat dengan tekanan inflasi bulan Agustus yang semakin berkurang. Peningkatan konsumsi listrik juga berlanjut, menunjukkan terus tumbuhnya aktivitas ekonomi masyarakat.

Bahkan, pertumbuhan ekonomi diperkirakan masih akan tumbuh lebih baik di tahun 2022, sejalan dengan proyeksi yang dilakukan oleh lembaga internasional terkemuka seperti ADB sebesar 5,4%, IMF 5,3%, Bloomberg 5,2%, dan Bank Dunia 5,1%.

“Ini tentu karena kinerja dari pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal kedua yang cukup tinggi, dan saat ini sampai kuartal ketiga juga menunjukkan aktivitas yang masih sangat cukup kuat,” kata Sri Mulyani.

Bahkan, kinerja manufaktur Indonesia mencatat ekspansi di tengah tren pelemahan manufaktur di negara-negara besar, seperti Eropa, China dan Amerika Serikat (AS).

Kondisi ini tercermin dari Purchasing Managers’ Index (PMI) per Agustus 2022. PMI Manufaktur Indonesia bulan Agustus 2022 tercatat sebesar 51,7, atau meningkat dari bulan lalu sebesar 51,3.

Sri Mulyani mengungkapkan dari negara-negara Asean-5 dan G20, hanya 24% negara-negara di dunia yang PMI-nya masih mengalami akselerasi, yaitu Thailand, Rusia, Vietnam dan Indonesia. Sementara itu, 40% negara-negara maju sudah mengalami kontraksi, yakni Eropa, Jerman, Italia, Inggris, Tiongkok dan Turki.

Namun, kondisi global jauh berbeda dari posisi Indonesia. Oleh karena itu, dia berharap semua pihak mewaspadai kondisi ini.

Dari sisi fiskal, dia mengatakan surplus APBN Agustus kembali meningkat, ditopang kinerja pendapatan yang baik dan belanja yang tumbuh positif.

Pendapatan negara, kata Sri Mulyani, melanjutkan kerja yang baik, didukung semua komponen pendapatan yang tetap tumbuh tinggi. “Hingga Agustus 2022 pendapatan negara tercapai Rp 1.764,4 triliun atau 77,9% dari pagu, tumbuh 49,8 persen (yoy).”

Secara nominal, realisasi komponen Pendapatan Negara yang bersumber dari penerimaan perpajakan mencapai Rp 1.171,8 triliun, penerimaan Bea dan Cukai Rp206,2 triliun, serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp 386,0 triliun.

Baca Juga :   Gegara Pergerakan Wallet Mt. Gox Dan Jerman Kini Harga Bitcoin Anjlok Parah!

Kinerja penerimaan pajak bahkan tumbuh positif, konsisten sejak April 2021 sejalan dengan pemulihan ekonomi. Realisasi penerimaan Pajak sampai dengan akhir Agustus 2022 tercapai sebesar Rp 1.171,8 triliun atau 78,9% dari pagu.

“Ini sudah melampaui sebelum pre-pandemi, yaitu 2019. Kenaikan pajak 58,1% dibandingkan tahun sebelumnya,” ungkap Sri Mulyani dalam APBN Kita Agustus, Senin (26/9/2022).”

Kinerja penerimaan pajak yang sangat baik pada periode Januari-Agustus 2022 dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain peningkatan harga komoditas sejak tahun 2021, pemulihan ekonomi, dampak insentif, serta dampak kebijakan PPS, penyesuaian tarif PPN dan kompensasi BBM.

Sri Mulyani mengingatkan bahwa pemerintah tetap hati-hati karena kondisi ekonomi global dan indikatornya perlu diwaspadai.

“Berapa lama ekonomi dunia diperkirakan melemah, pasti akan rembes dan memberikan dampak ke dalam negeri dan akan mempengaruhi penerimaan pajak kita,” tegasnya.

Sebagai catatan, dalam RAPBN 2023, pemerintah sendiri telah menyiapkan bantalan perlindungan sosial (perlinsos) sebesar Rp 479,1 triliun.

Anggaran ini termasuk tinggi jika dibandingkan dengan tahun 2021 sebesar Rp 240,2 triliun dan Rp 319,7 triliun pada 2022.

Anggaran tersebut akan digunakan untuk melanjutkan Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, bantuan iuran jaminan kesehatan nasional (JKN), Program Indonesia Pintar (PIP) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) kuliah. Selain itu, dana tersebut juga akan dimanfaatkan untuk memperbaiki basis data penerima bantuan melalui pembangunan data Registrasi Sosial Ekonomi, perbaikan perlinsos, dan percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp
Email
X
Threads
Pinterest
Telegram

Tinggalkan Balasan

Ikuti Kami :

Berita Serupa

Berita Terbaru

Twitter Kami

Load More

Tag Berita