Mediapasti.com – Tottenham Hotspur mengangkat trofi Liga Europa di tengah pekan, tapi hanya tiga hari kemudian, klub London Utara ini dibenamkan oleh Brighton 1-4 di kandang sendiri.
Kekalahan telak itu bukan sekadar noda di akhir musim, melainkan pertanda krisis sistemik yang menghantui masa depan klub.
Euforia yang Tidak Bertahan Lama: Dari Puncak Eropa ke Dasar Klasemen
Pekan yang seharusnya menjadi momen perayaan justru berubah menjadi refleksi menyakitkan bagi Tottenham.
Setelah mengalahkan Bayer Leverkusen 2-1 di final Liga Europa pada Kamis (22/5) di Budapest, Spurs seakan di atas awan.
Gelar ini menjadi pelipur lara atas puasa trofi selama lebih dari satu dekade dan menjadi harapan baru di bawah asuhan Ange Postecoglou.
Namun, hanya tiga hari berselang, pada Minggu (25/5), Tottenham menutup musim Premier League 2024/2025 dengan kekalahan telak 1-4 dari Brighton & Hove Albion.
Hasil tersebut menempatkan Spurs di peringkat ke-17, nyaris terdegradasi—sebuah ironi pahit bagi klub yang baru saja berjaya di kancah Eropa.
Babak Pertama: Awal Menjanjikan yang Menyesatkan
Pertandingan dimulai cukup positif bagi Spurs. Dominic Solanke, yang menjadi top skor klub musim ini dengan 18 gol, membuka keunggulan melalui penalti di menit ke-17 setelah pelanggaran terhadap Brennan Johnson.
Namun setelah gol tersebut, tempo permainan Tottenham mulai menurun. Brighton tetap tenang dan bermain rapi, menunggu kelemahan lawan.
Tottenham tampak seperti tim yang kehabisan energi dan ide, terutama dalam transisi bertahan.
Babak Kedua: Brighton Mengamuk, Tottenham Luluh Lantak
Kebobrokan Spurs benar-benar terlihat di babak kedua. Brighton keluar dengan intensitas tinggi dan mendominasi jalannya laga.
Gelandang muda berbakat, Jack Hinshelwood, tampil luar biasa dengan dua gol cepat di menit ke-51 dan 64.
Ia memanfaatkan ruang kosong yang ditinggalkan pertahanan Tottenham yang kacau dan tidak terorganisir.
Kondisi semakin buruk bagi Spurs saat Matt O’Riley, mantan pemain Celtic yang kini menjadi andalan Brighton, mencetak gol ketiga lewat titik putih di menit ke-88.
Tekanan semakin menyesakkan ketika Diego Gómez menambah gol keempat di masa injury time (90+3′).
Empat gol dalam satu babak menggambarkan bukan hanya ketidaksiapan taktis, tetapi juga mentalitas yang hancur.
Masalah Struktural: Dari Ketergantungan Individu hingga Minimnya Rotasi
Tottenham di musim ini memperlihatkan sejumlah masalah besar yang tak bisa ditutup dengan satu trofi. Berikut beberapa poin krusial yang berkontribusi terhadap anjloknya performa liga mereka:
1. Rotasi Pemain yang Buruk
Manajer Ange Postecoglou terlalu mengandalkan susunan inti yang sama dalam banyak laga penting. Minimnya rotasi membuat para pemain kelelahan di fase akhir musim, terutama setelah jadwal padat kompetisi Eropa.
2. Ketergantungan pada Solanke dan Maddison
Spurs terlalu bergantung pada Solanke dan James Maddison untuk mencetak gol atau menciptakan peluang. Saat keduanya dijaga ketat atau tampil di bawah performa, kreativitas tim langsung buntu.
3. Mentalitas yang Rapuh
Kekalahan dari Brighton adalah kali kesepuluh musim ini di mana Tottenham kalah setelah sempat unggul lebih dulu. Ini menandakan lemahnya mental bertanding serta kurangnya pemimpin di lapangan.
4. Skema Bertahan yang Rawan Eksploitasi
Transisi bertahan yang lambat dan kurangnya kedalaman di lini belakang membuat Tottenham rentan dihantam serangan balik—yang dimanfaatkan dengan sempurna oleh Brighton.
Statistik Pertandingan: Dominasi Efisiensi Brighton
Statistik | Tottenham | Brighton |
---|---|---|
Penguasaan Bola | 52% | 48% |
Tembakan Total | 9 | 15 |
Tembakan Tepat Sasaran | 4 | 9 |
Pelanggaran | 12 | 10 |
Kartu Kuning | 1 | 1 |
Penalti | 1 (gol) | 1 (gol) |
Statistik ini memperlihatkan bagaimana Brighton tampil jauh lebih efisien.
Meskipun kalah dalam penguasaan bola, mereka unggul dalam penciptaan peluang dan finishing.
Brighton: Simbol Konsistensi dan Perencanaan Jangka Panjang
Di sisi lain, Brighton membuktikan diri sebagai klub dengan manajemen teknis dan strategi yang solid.
Di bawah Roberto De Zerbi, mereka menuntaskan musim di posisi 8 besar, mengalahkan banyak tim dengan anggaran lebih besar.
Yang menarik, Brighton melakukannya dengan para pemain muda seperti:
- Jack Hinshelwood (gelandang, 19 tahun)
- Carlos Baleba (gelandang, 20 tahun)
- Yasin Ayari, Gruda, dan Kaoru Mitoma
Brighton juga tetap kompetitif meski ditinggal sejumlah pemain kunci seperti Alexis Mac Allister dan Moisés Caicedo pada awal musim.
Mereka menampilkan bahwa konsistensi tidak harus datang dari bintang mahal, melainkan visi jangka panjang.